.

Tak Setiap Waktu Kita Perlu Menunggu

Prie GS

Gelisah hati saya ketika musim sepatu roda melanda kampung saya. Jenis sepatu roda baru, lebih praktis, karena jika rodanya dilesakkan ke dalam, ia bisa berfungsi sebagai sepatu biasa. Karena inilah sepatu yang bisa berfungsi sebagai sepatu sekolah biasa. Karena inilah anak-anak bisa main sepatu roda di sekolah tanpa setahu guru-guru mereka. Karena itulah mereka bisa saling pinjam meminjam dan belajar diam-diam. Karena itulah anak sulung saya telah bisa berselancar tanpa saya tahu kapan ia belajar sepatu roda.

Kemampuannya itu terbongkar setelah di kampung beredar banyak sekali anak-anak bersepatu roda. Ada yang masih dituntun para orang tua mereka, ada yang satu dua telah lancar berselancar dan menjadi objek tontonan teman-temannya, dan ada anak-anak yang cuma sanggup menjadi penonton, karena selain belum sanggup, mereka juga belum punya sepatu heboh itu.

Sulung saya masuk dalam daftar yang terakhir ini penonton. Walau setelah ada kebaikan hati seroang teman dan ia mendapat pinjaman, ia segara berubah status menjadi pihak yang ditonton. Anak saya itu ternyata telah terampil sekali. Setiap bapak, tentu bertepuk tangan pada kemampuan anak yang tak terduga sebelumnya. Saya pasti juga jenis bapak seperti ini.

Tapi persoalannya tak berhenti pada tepuk tangan bapak yang tengah bergirang hati ini. Karena yang terjadi kemudian adalah huru-hara di keluarga kami. Adik si sulung itu, begitu melihat mbakyunya berputar-putar dan menjadi pusat kekaguman, segera berteriak-teriak penuh dengki. Secepatnya ia harus punya sepatu roda agar bisa seperti kakaknya itu. Dan tanpa menungu waktu, ia telah merengek untuk mendapatkan sepatu rodanya, saat itu juga. Sejenak, rengekan itu telah berubah menjadi tangis kegemparan.

Kami sekeluarga segera meminta si sulung berhenti untuk menjadi pembangkit iri. Ia menurut tapi semuanya telah terlambat. Dua anak ini malah berkomplot untuk saling meminta sepatu roda bersam-sama. Jika satu tangisan saja telah merepotkan, ini dua tangisan merengek bersama. Kami menyerah. Dan esok hari, kami harus berkeringat untuk berburu sepatu celaka ini di pasar-pasar obral.

Tapi beginilah hidup. Satu masalah dirampungkan ternyata cuma untuk menyulut masalah baru. Karena hari-hari berikutnya, adalah kerepotan kami mengawasi si kecil ini bersepatu roda ini. Sebuah kerepotan yang amat menguras tenaga. Karena mengawasi sendiri anak sekecil itu bersepatu roda, adalah cuma melihat sekujur bahaya. Saya sendiri tidak bisa bersepatu roda, maka melihat anak ini berlatih di atas lantai keramik, yang muncul hanya kengerian semata. Di lantai ini bersandal saja bisa tergelincir, apalagi ini berada di atas roda.

Maka ketika anak ini berdiri dengan terbata-bata, saya segera menubruknya. Tak pernah dalam sekejab, sepanjang dia telah bersepatu rdoa, saya melepaskannya. Maka yang terjadi selama ini ialah dia cuma bersepatu roda, tapi sayalah pemegangnya. "Jangan berdiri kalu orang tuamu tak ada!" instruksi saya tegas.

Maka anak saya adalah pemain sepatu roda jongkok paling mahir di dunia. Sebuah gaya yang lama-lama membosankan hatinya. Ia sangat butuh berdiri dan saya tak pernah kuasa mengijinknanya. Di mata saya, hanya ada bayangan kepala yang akan terbanting di keramik yang keras, gegar otak dan harus operasi syaraf seperti anak tetangga. Tidak! Biarlah anak saya gagal bersepatu roda selama hidpunya asalkan kepalanya tetap utuh tak kurang satu apa. Instruki ini harga mati. Titik!

Walau yang titik itu ternyata harus dibuat koma oleh anak secara paksa. Karena suatu kali, sepulang kerja, saya melihat si kecil itu telah lancar berdiri dengan sepatu rodanya. Saya berteriak kalap "Jongkok!" tapi ia cuma tertawa-tawa. Anak ini, bersama kakaknya, segera saya interogasi habis-habisan dengan kengerian mengepul di kepala. Baru keduanya mengaku, bahwa si kakak ini selalu melatih adiknya, jika bapaknya tak ada. "Jika menunggu bapak, adik tak akan pernah bisa," katanya. Jawaban itu membuat saya malu. Teori saya anak itu baru boleh berdiri setelah mahir dengan sepatu rodanya. Sebuah teori yang tak masuk akal. Karena benarlah anak saya, bahwa untuk bisa berbuat sesuatu, kadang ada syarat yang tidak selalu layak ditunggu.
Back To Top