.

Meraih Kemuliaan Manusia

Drs. ASEP SALAHUDIN, M.A.

DARI sekian banyak makhluk Tuhan, nampaknya manusialah yang paling unik dan kompleks. Begitu banyak orang mencoba mengurai sejatinya diri manusia, namun pada saat yang sama betapa tidak sedikit sisi gelap yang belum terbongkar. Satu sudut tersibak, sudut lain tetap diliputi selaput kabut misteri sebagaimana ditulis Dr. A. Carrel dalam Man the Unknown.

Tidak terhitung para filsuf menjadikan hakikat persoalan manusia sebagai objek kajiannya. Ada yang sampai pada kesimpulan bahwa hakikat manusia itu adalah roh (Hegel), yang lainnya menyebut kebutuhan materi (Mark), estetis, etis, dan religius (Kierkegaard), kebebasan (Sartre), cinta kasih (Levinas), keterlemparan (Heidegger), absurditas (Camus), kebersamaan (Gabriel Marcel), dan jauh ke belakang para filsuf Yunani juga berpikir untuk menjawab apa dan siapa manusia itu?

Alquran adalah kitab suci yang salah satu temanya bahkan sebagian besarnya mengangkat seputar manusia. Bahkan kalau kita telisik istilah manusia diwadahi dalam ungkapan yang beragam dengan muatan makna yang berlainan seperti insan, ins, nas atau unas, basyar Bani Adam dan Dzurriyat Adam.

Alquran juga sempat menyinggung bahwa keunikan manusia salah satu faktornya adalah karena dalam dirinya tersimpan satu potensi ketuhanan yaitu roh-Nya yang ditiupkan sejak ajali di mana tidak ada satu pun makhluk yang dapat mengungkap arti hakikat roh itu sendiri.

Manusia juga adalah makhluk yang dengan akal dan hatinya memiliki kebebasan untuk menentukan jalan hidupnya dengan segala konsekuensi yang harus ditanggungnya. Dalam dirinya mengalir dua unsur yang bertentangan, kebaikan dan keburukan. Fa alhamaha fujuraha wa taqwaha. Dua unsur yang memungkinkannya dapat terbang melampaui keagungan malaikat, namun juga tidak menutup kemungkinan bisa lebih dungu dari ternak sekali pun.

Manusia dengan kreativitasnya mampu membangun peradaban yang luhur dan mengagumkan. Namun ulah manusia juga yang seringkali peradaban itu hancur luluh lantak karena perilaku dan sepak terjangnya yang melewati batas.

Alquran banyak merekam berbagai model manusia terbentang mulai dari yang telah mencapai tahap kesempurnan rohaniah seperti para Nabi, syuhada (orang-orang yang mati syahid membela kebenaran), dan orang saleh sampai orang-orang yang terperosok menjadi sampah sejarah dari berbagai kalangan dan profesi seperti Fir'aun, penguasa (namrudz), ekonom (karun), politisi (haman), dsb.

Mengabadikan perjalanan sebuah bangsa sampai ketika bangsa itu harus mengalami nasib akhir yang mengenaskan ditimpa berbagai malapetaka yang tak tertanggungkan seperti yang di alami kaum Ad, Tsamud, Madyan, dst.

Alquran mengangkat semua itu dengan satu maksud, agar kita sekarang ini dapat memetik pesan moralnya, "Sesungguhnya pada yang demikian itu merupakan pesan moral (ibrah) bagi orang yang memunyai penglihatan tajam" (QS. an-Nur/24: 44), "Maka ambillah 'ibrah wahai yang punya penglihatan" (QS. al-Hasyr/59: 2). Sejarah menanamkan kesadaran kepada diri setiap kita tentang keharusan tidak jatuh dalam lubang yang sama untuk kedua kalinya.

Dalam ayat yang betebaran kita diseru untuk melakukan perjalanan di muka bumi. Qul siru fil ardli. Sebuah idiom menarik yang lagi-lagi menekankan kepada kita tentang makna penting mengambil pelajaran dari jalannya sejarah masa silam. Sebuah perjalanan untuk mengaca diri kepada mereka yang telah berlalu.
Perintah berjalan untuk melakukan kesaksian ihwal kepastian sunatullah bahwa tindakan yang keliru hanya akan berujung pada kehancuran dan penyesalan yang mungkin terlambat apabila tidak lekas taubat, "apakah mereka tidak pernah bepergian di muka bumi ini, supaya hatinya tersentak memikirkan kemusnahan itu atau mengiang di telinganya untuk didengarkan? Sebenarnya yang buta itu bukan mata, melainkan hati yang ada di dalam dada" (QS. al-Haji/22: 46)

Belajar dari sejarah sama pentingnya dengan belajar terhadap diri sebagaimana pernah disinyalir Prof. Fazlur Rahman bahwa pengetahuan sejarah merupakan bagian penting yang didesakkan Alquran di samping dua pengetahuan lainnya yakni pengetahuan mengenai alam dan pengetahuan ihwal jagat dirinya sendiri.
"Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di dalam cakrawala dan di dalam diri-diri mereka sendiri sehingga mereka dapat memahami kebenaran. Tidak cukupkah Tuhanmu sebagai saksi terhadap segala sesuatu" (QS. Fushilat/41: 53).

Dari sini kita dapat melihat dengan jelas bahwa ternyata dalam konsep Alquran, manusia dikatakan manusia acuannya bukanlah sesuatu yang bersifat kebendaan namun semata iman yang kemudian dipantulkan dalam bentuk amal saleh secara optimal (ihsan) (QS. as-Sajdah/32: 7), "...serta lakukanlah ihsan sebagaimana Allah telah melakukan ihsan kepadamu, dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang membuat kerusakan" (QS. al-Qashash/28: 77), sungguh-sungguh, dan tidak pernah bersikap setengah-setengah sebagaimana sifat Allah ketika menciptakan seluruh alam ini, "Seni ciptaan Allah yang membuat dengan teliti segala sesuatu..." (QS.an-Naml/27: 88).

Kesadaran-kesadaran rohaniah ini dapat diperoleh minimal melalui tiga pintu masuk tadi, terus menerus mengaca dan membaca diri, dengan cermat belajar dari sejarah dan yang ketiga melalui renungan terhadap alam semesta.

Dengan cara seperti ini maka kemanusiaan kita akan menampakkan grafik yang menaik. Kita berhak mengaku sebagai manusia. Jika tidak, maka dalam tilikan Allah kita tak lebih adalah binatang atau malah lebih dungu. Ulaika kal an'ami bal hum adhall.

Kalau tempo hari Filsuf Modern Rene Descartes menyerukan bahwa berpikir yang merupakan hakikat kemanusiaan sehingga aku berpikir oleh karena itu aku ada. Cogito ergo sum. Keberadaan manusia" (mode of existence) dalam Islam, sekali lagi, diacukan kepada amal salehnya. Manusia ada karena amal saleh.. Dalam ajaran Islam berpikir saja tidak cukup tapi harus juga diiringi dengan bekerja, bahkan iman (amanu) saja tidak memadai sekadar pengakuan verbal (QS. al-Maidah/5: 41) tapi musti diiringi dengan perbuatan baik (QS. al-Araf/7: 42, Yunus/10: 4, al-Ra'd/13: 29). Iman tidak sekadar mengental dalam hati dan diikrarkan lewat lisan tapi juga bagaimana iman itu menjadi energi yang aktif menggerakkan manusia untuk terlibat dalam tanggung jawab kesejarahan.

Alquran dengan jelas menyatakan bahwa seorang mukmin adalah figur yang harus menebarkan kasih kepada yang lain (QS. al-Fath/48: 29), melakoni hidup dengan penuh kerendahan hati (QS. al-Furqan/25: 63), pemaaf (QS. al-Araf/7: 199), santun kepada sesama (QS. al-Fath/48: 29), dan memaafkan kesalahan orang lain (QS. al-Baqarah/2: 109) bahkan dalam keadaan marah (QS. al-Syura/42: 37).

Dalam ungkapan Jalaludin Rumi:
Aku sudah muak dengan binatang buas
Dan binatang lain;
Yang kuinginkan hanyalah manusia
Insanan arzust!

Penulis, Ketua DKM al-Ikhlas Jl. Gitar Turangga/ Pembantu Dekan I Fak Syariah IAILM.
Back To Top