.

Tunggu Aku Ibu...


Seorang ibu, bangun sekitar jam 3 malam. Dengan mata masih berat untuk dibuka dan badan yang sudah tidak sekuat dulu ketika dia masih muda, kini mulai ngilu karena rematik. Kadang, kehidupan malamnya dimulai dengan. Kadang juga tidak, bila dia pikir telah terlambat bangun. Dalam tahajjudnya, tak ada doa lain yang keluar dari mulutnya melainkan keberhasilan anak-anaknya dan hutang suaminya yang segera lunas.

Ia lalu memasak air, memasak nasi uduk, goreng pisang, dan segala sesuatu yang akan dijual bersama suaminya di warung kecil yang dia kontrak tepat dua tahun yang lalu. Ketika adzan shubuh terdengar, hampir semua persiapan jualan hampir dia selesaikan. Memasukkan pempek yang gak terasa ikan sama sekali itu ke dalam kresek, dan terakhir menutup tempat nasi, menyimpan dengan rapih di atas meja makan yang mulai tua.

Ia lalu membangunkan suaminya yang harus sudah berangkat lebih dahulu ke pasar setelah mandi dan sholat shubuh. Sang suami yang terlihat lelah tidak hanya karena berjualan tapi juga oleh beban hidup yang harus ia tanggung. Selesai membangunkan suaminya, ia segera ke kamar mandi untuk mencuci pakaian suami dan seorang anaknya yang tersisa dirumah. Tiga orang anaknya yang lain, ia izinkan pergi merantau. "Biar nggak bodoh," katanya.

Selesai mencuci dia menimba air sumur rumah yang kedalamannya cuma 2 meter tapi kekuatannya yang sudah lemah sering membuatnya lelah. Habis mencuci dia mandi dan bergegas untuk segera pergi ke pasar menyusul suaminya. Tanpa lupa membangunkan putri bungsunya ia pergi kepasar untuk menyusul suaminya yang lebih dulu untuk mengatur makanan dagangannya. Ia pergi melangkah kepasar yang jaraknya 500meter dari rumahnya, dengan berjalan kaki.

Sampai dipasar mulai ia dan suaminya melayani pembeli satu persatu yang mulai jadi pelanggannya.tak terasa waktu beranjak menjelang dzuhur sang ibu mulai beranjak pulang, tapi tidak segera kerumah melainkan mampir ketoko membeli gula merah, terigu, telor, dan semua persiapan untuk jualan esok hari. Dan dengan barang bawaannya dia pulang tepat jam 1 dibawah terik matahari, ia berjalan kaki menuju rumahnya.

Kupikir dia akan merebahkan tubuhnya di sofa rumahnya yang mulai tua tetapi tidak.diletakkan barang bawaannya menuju kamar mandi untuk berwudlu setelah itu, ia sholat. Ia melirik sebentar tempat tidur, tapi ada yang menghalanginya. Yah dia harus mengerjakan bahan - bahan jualannya untuk esok hari. Tepat pukul empat sore dengan cantiknya ia mulai duduk didepan rumah, atau di depan tv atau di tempat tidur untuk sekedar meluruskan pinggangnya.
Jika maghrib telah selesai ingin sekali ia diurut oleh ketiga anaknya yang lain yang dia cintai. Tapi sayang mereka berada jauh di tempat lain. Siapa yang dapat mengira kalau penjual makanan dikedai yang kecil di pojok pasar itu memiliki 3 orang anak yang semuanya anak kuliahan. Itulah kebanggaannya yang sering dia lontarkan kepadaku anaknya. Ketika liburan kemarin kulewati hari-hari bersamanya. Di kamarku sering kuurut badannya sambil bercerita panjang tentang duka, suka, dan harapannya.

Ibu.... sungguh jika sering keluar omelanmu itu bukanlah seberapa dibanding dengan beban hidup yang kau alami... Rambutmu yang sudah mulai putih… Kulitmu yang menghitam diterpa panas kota kecil ini. Tanganmu dan jarimu yang kasar dan bengkak karena terlalu sering kena air .. Sungguh aku ingin membelainya. Setelah sholat isya' kau masuk kamar untuk beristirahat sejenak menuju esok dengan pekerjaan rutin yang menunggumu..

Ya Robb sampai kapan dia akan seperti itu.. Bundaku.. aku yang hanya mampu menarik nafas sedih..mengenang kuliahku yang belum lulus juga .. tunggulah bu..aku akan datang dan mengatakan "Bu aku wisuda…".

Back To Top