.

Parodi Telepon

Prie GS

Telepon di tangan kita menggambarkan watak kita. Misalnya pihak yang gemar mematikan handphone justru pada saat dibutuhkan. Orang semacam ini menyangka dirinya aman dari gangguan hanya gara-gara tak bisa dihubungi. Padahal yang terjadi, ia justru sedang ramai menjadi bahan gunjingan.

Kalau seseorang itu sedang berperkara, ia akan dianggap seorang pengecut. Berani berbuat tapi takut bertanggung jawab. Jika ia seorang yang sedang bekerja, ia akan dianggap pemalas. Mau gajinya tapi menolak pekerjaannya. Jika ia orang penting akan dianggap mentang-mentang penting. Mematikan HP justru cuma untuk menaikkan gengsinya belaka. Biar makin dianggap penting. Jika ia orang kebanyakan, ia akan dianggap sekadar orang miskin salah jurusan. Punya HP tapi tak kuat membeli pulsa. Orang semacam ini menjengkelkan karena sudah miskin masih mau gaya.

Jadi cuma karena Anda suka mematikan telpon gengam, serangkaian salah tafsir tentang Anda telah tersedia begitu banyaknya. Maka mematikan telepon, ada kalanya justru sedang memperagakan jurus burung onta. Burung ini terkenal sebagai burung paling goblok di dunia. Ia merasa aman cuma karena telah menyembunyikan kepalanya di gundukan pasir, sementara tubuhnya yang raksasa itu menjadi tontonan umum.

Cara kita bertelepon juga menggambarkan watak kita. Dan teknologi telepon genggam telah membuat kasus salah sambung itu berkembang menjadi begitu buruknya. Karena telepon ini amat prbadi, para penelepon cenderung percaya diri. Percaya bahwa si penjawab selalu adalah orang yang dicari. Jika si penjawab ternyata orang lain, kagetlah dia. Saking kagetnya, ia pasti akan mematikan teleponnya begitu saja. Tanpa basa-basi.

Karena telepon gengam juga berteknologi tinggi, seorang penelepon juga cenderung sok akrab. Ia menyangka nomor penelepon yang selalu muncul di layar itu adalah nomor yang selalu dimemori oleh si penerima. Jika ternyata tidak, maka pembicaraan yang berlangsung bisa sangat tidak bermutu. Si penelpon sok akrab, si penerima sok kenal. klop!

Saya kenyang pengalaman soal ini. HP saya masih berteknologi kuno, maka cuma beberapa nama belaka yang bisa saya rekam di dalamnya. Di luar itu, kacau akibatnya. Sering saya mengakhiri pembicaraan tanpa saya tahu orang yang bertelepon tadi siapa. Beginilah repotnya jadi orang Indonesia kuno. Bertanya soal nama kepada pihak yang telah terlanjur sok akrab pun kita sering tidak tega.

Kalau Anda tinggal di kampung seperti saya, humor telepon itu bisa menjadi lebih kaya. Makin cepat Anda memasang telepon di rumah, jangan menganggap Anda merasa paling hebat dan paling gaya. Pada prakteknya, telepon Anda nanti akan menjadi telepon umum. Sesekali wajarlah jika satu dua tetangga meminjam telepon untuk kepentingan darurat. Ini wajar belaka, dan malah perbuatan mulia. Tapi yang berbahaya bukanlah risiko menghadapi peminjam, melainkan risiko menjadi penerima.

Karena tiba-tiba saja Anda bisa menerima banyak sekali penelpon dari orang yang sama sekali asing. Tapi meski asing, mereka bukanlah penelpon salah sambung. Mereka menyebut nomor Anda, bahkan nama Anda sendiri. Tapi yang ajaib, mereka tidak benar-benar ingin bicara pada Anda tapi sekadar mencari Anda untuk mengundang tetangga Anda karena penelpon ini ingin asyik berbincang dengan tetangga Anda. Jadi Anda si pemilik telepon, yang empunya rumah, yang membayar pulsa... Cuma pesuruh saja kelasnya.

Saya juga pihak yang telah kenyang disuruh-suruh semacam ini. Dari sekian orang ada satu yang begitu rajinnya main suruh tanpa rasa berdosa. Sudah lama saya menahan dendam pada orang ini. Kapan pun ia bertelepon, tidak malam ketika kami hendak berangkat tidur, tidak siang ketika anak-anak sedang lelap tidur siang, main suruh saja kerjanya. Sudah lama saya menyabarkan diri karena berbuat kebajikan adalah ajaran agama. Tapi iman saya agaknya belum cukup tebal. Dari sekian ajaran agama pasti baru sedikit saja yang bisa saya amalkan. Tapi untuk menahan kesabaran pada orang ini ajaran kesabaran itu gagal saya praktekkan. Saya rela berdosa.

Lagi-lagi ia bertelepon dan main suruh. Ketika dengan lembut saya tawarkan untuk meninggalkan pesan saja, ia menolak dan meminta harus bicara. Penting, katanya. Baiklah. Inilah saat bahwa peperangan memang harus dimulai. Dengan kesopanan sempurna saya melayani orang ini meski asap kejengkelan telah mengepul di ubun-ubun. Saya memintanya untuk menunggu sejenak, berlagak memanggil tetangga, tapi yang saya lakukan hanyalah sekadar meletakkan gagang telpon ini berlama-lama. Hahaha...kapok luh!

Saya bahagia sekali melihat orang ini menunggu tanpa kepastian. Setiap kali saya mengecek desah nafasnya yang kesal. Dan telepon itu saya biarkan menggeletak tanpa keputusan, tergantung seberapa kuat stamina dia dalam menunggu. Begini asyiknya ternyata membalas dendam itu. Benarlah kata mafia: dendam adalah makanan yang tak enak disantap ketika telah mendingin.

Kepada tetangga dan penelpon yang kebetulan membaca tulisan ini saya minta maaf. Sejatinya saya mencintai Anda sebagai saudara. Saya hanya ingin kita semua tahu, bahwa ada begitu banyak perbuatan yang kita anggap remeh, tapi ternyata bagi orang lain, ia adalah serupa siksa.
Back To Top