.

Doa Anak-anak Saya

Oleh Prie GS


Dua anak saya, usia SD dan balita, tak bisa tidur dan makan tanpa lebih dulu mengerjakan kebiasaannya: berdoa. Selapar dan sengantuk apapun, mereka selalu menyempatkan berdoa. ''Biar tidak mimpi buruk,'' kata si SD pada adiknya, jika mereka hendak tidur. ''Biar tidak diganggu setan,'' jika keduanya hendak makan.

Cerita ini saya tulis bukan untuk membuktikan betapa saleh keluarga kami, melainkan untuk menegaskan betapa dibanding orang tua, anak-anak sering jauh lebih setia pada komitmen moralnya. Di sebuah gerai fast food yang sangat sibuk, ketika kami sekeluarga tengah begitu laparnya, kelaparan yang membuat nama Tuhan tak kami ingat lagi, si balita, dengan muka pucat dan mulut cadelnya yang gemetar menahan lapar, ngotot untuk tetap berdoa. Tempat yang semula hiruk pikuk itu terasa sepi seketika. Sepi oleh rasa malu yang menampar wajah saya, bapak anak ini.

Pertama, malu, bahwa doa itu lebih mereka dapat dari sekolah, katimbang dari kami, orang tuanya. Si SD lah yang membawa doa itu ke rumah, si balita menirunya dan kami sekadar menjaga dan mengingatkannya. Kedua, malu terhadap kemampuan kami yang cuma sebagai pengingat itu sementara kami sendiri sering lupa mengerjakan hal serupa.

Malu berikutnya jauh lebih serius. Betapa anak-anak itu bisa demikian kokoh dalam menjaga kewajibannya. Sekali meneken kontrak kesanggupan, mereka akan mematuhinya sepenuh hati. Dan dampaknya sungguh membuat saya iri. Sekecil itu, mereka bahkan telah sanggup membuat jarak yang jelas dengan setan. Di dua kegiatan utamanya, makan dan tidur, mereka jelas-jelas sudah menolak bersinggungan dengan setan.

Sementara tidur saya? Aduh, sambil tidur, tak jarang kepala ini sesak oleh rencana dead line, penuh oleh judul-judul berita, keluhan-keluhan hidup, dan tegang oleh perhitungan-perhitungan hari depan. Mata memang terpejam, tapi sesak di kepala itu membuat si tidur tak lebih adalah anyaman kegelisahan. Buntutnya? Nama Tuhan nyelip di gelap malam.

Lalu mutu makan apa pula ini, yang sambil mengunyah pun dering telepon terus menyalak di sana-sini. Telepon yang di meja, yang di saku. Semua dering itu menguntit bagai hantu. Jika ia berupa dering kegembiraan, kita bisa lupa lapar, lupa waktu. Jika ia berupa dering masalah, sama saja makan juga bisa terhenti sebelum waktu. Buntutnya serupa pula, untuk berdoa, serasa tak lagi ada waktu. Jika sikap makan dan sikap tidur pun sudah begini tidak bermutu, lalu kualitas hidup seperti apa pula yang saya punya.

Daftar malu berikutnya, jauh lebih serius lagi. Betapa ketulusan anak dalam menunaikan kewajibannya dengan cara yang bebas prasangka itu, dengan kepatuhan sempurna itu, malah makin menegaskan aib orang tuanya belaka. Betapa saya ini, di depan mereka, tak lebih dari Pendeta Durna saja, yang dengan gagah menyuruh muridnya, Bima, meningkatkan mutu hidup dengan cara yang muskil, mencari sarang angin. Sementara Sang Bima benar-benar memperoleh apa yang dicarinya, Si Durna justru terbuka kedoknya sebagai pendeta bermasalah.

Sayalah Durna itu. Yang di tengah keluarga pun, mata ini masih sering kelayapan melihat wanita-wanita cantik di sekitar. Apalagi di tempat-tempat umum, sekarang banyak wanita yang terang-terangan menonjolkan dadanya, memamerkan putih lengannya dan membuka pusernya. Betapa berat mengingat nama Tuhan di wilayah semacam ini.

Dengan mutu hanya sekelas ini, mendadak saya bisa berlagak menjadi orang tua yang saleh. Yang marah ketika anak-anak lupa berdoa, lupa menaruh rasa hormat dan gagal berbakti pada orang tuanya. Sementara anak-anak itu betul-betul patuh dengan kewajibannya, sementara mereka sedang menuju menjadi Bima, orang tua ini, masih terhenti di sini, tertahan sebagai Durna belaka.

Back To Top