.

Mencontoh Kesabaran Si Kakak

Jika rasa jenuh menyerang, sulit bagiku untuk dapat mengendalikan emosi. Sehingga inginnya marah saja daripada bersikap sabar ketika menghadapi tingkah laku anak yang menurutku berlebihan. Anakku yang pertama berusia 3 tahun dan adiknya 1,5 tahun yang sangat suka bermain. Tidak heran kalau rumahku sering terlihat berantakan dengan mainan. Untuk kasus ini, aku merasa tidak perlu marah ketika harus selalu membereskan kembali. Justru aku menikmatinya dan berharap semoga anak-anakku mencerdas dengan stimulus mainan-mainan yang pendidikan.

Karena asyiknya bermain, terkadang anakku sulit sekali bila disuruh tidur siang. Suatu saat si adik mulai bosan dan mengantuk. Aku segera menggendongnya agar cepar tidur, namun sayang usahaku tidak cepat berhasil. Kubiarkan ia bermain kembali bersama kakaknya yang masih asyik bermain. Ketika aku perhatikan lagi, nampaknya si adik tidak menikmati lagi permainannya, ia lebih sering merengek dan terlihat bosan. Aku coba suapkan makanan, tapi ia menolak. Begitu pula ketika kubujuk agar tidak rewel. Kugendong si kecil sambil diiringi bacaan shalawat, namun ia tetap menangis. Hingga berulang kali aku mencoba menidurkannya, tapi belum berhasil juga.

Kesabaranku rasanya mulai berkurang dan aku terus mempertanyakan apa sebenarnya mau anak ini. Main, makan tidur semuanya tidak mau. Karena masih menangis, kuturunkan dia dari gendongan ke lantai yang beralas kasur yang sengaja disediakan untuk tempat bermain. Aku berharap tangisnya berhenti, ternyata malah semakin menjadi. Aku membiarkannya dan tidak berusaha membujuknya.

Kupikir nanti kalau sudah capek akan berhenti sendiri. Perkiraanku meleset si kecil tetap saja menangis. Kakaknya yang sejak tadi memperhatikan adiknya menangis pergi menghampiri, sambil mengusap-usap tubuh adiknya dia mengatakan sesuatu layaknya orang dewasa, “Cup, cup… jangan menangis ya sayang, ini ada Aa.” Mendengar bujukan si kakak spontan tangisan si kecil mulai mengecil volumenya dan akhirnya berhenti menangis.

Kakaknya langsung terlihat senang dan berkata, “Mama, lihat dede sudah berhenti menangis!” Ia terus menghibur adiknya, “Ciluk…ba…ciluk …ba! Mama, dede sudah tersenyum lagi!” Aku hanya diam saja memperhatikan tanpa komentar.
Tidak lama kemudian, kakaknya kembali membujuk si adik yang masih dalam posisi tidur. “Kita main tenis yuk sama Aa, ini raket sama bolanya.” Adiknya langsung bangun dan mengikuti ajakan kakaknya bermain.

Aku menarik nafas panjang sambil berucap Subhanallah. Maha Suci Allah yang telah mengkaruniakan aku dua orang anak. Dia telah memberiku pelajaran yang berharga melalui sikap sabar anakku. Di saat aku merasa jenuh, kesal dan kurang sabar, si kakak mencontohkan sikap sabar dan lemah lembut ketika menghadapi tingkah laku si kecil yang sulit dimengerti. Ah, aku harus mencontoh kesabaran anakku. Terima kasih, Nak.

Majalah Ummi No. 1/XVII Mei 2005/1426 H

Back To Top