.

Kepompong Ramadhan

Agus M. Irkham

Pernah mengamati bagaimana ulat menjadi kupu-kupu? Ulat harus berpuasa, menjadi kepompong, hingga ‘lahir’ kembali dalam wujud yang berbeda yaitu kupu-kupu. Perubahan wujud dari ulat menjadi kupu-kupu (metamorfosis) diikuti pula dengan perubahan peran di lingkungan. Yang semula ditakuti orang, berubah menjadi dicinta, dulu dijauhi, sekarang didekati, dulu menimbulkan bencana bagi bunga dan buah, kini membantu proses penyerbukan. Ulat, yang semula menyandang ‘nama besar’ sebagai biang masalah, berubah menjadi penopang keberlanjutan ketersediaan sumber daya.

Tidak beda jauh dengan ulat, hamba Allah yang lain, ayam, turut berpuasa demi keberlangsungan makro kosmos (semesta). Bayangkan, kalau mulai detik ini seluruh induk ayam (kampung) di seluruh dunia mogok tidak mau mengerami telur-telurnya. Maka, dapat dipastikan kita tidak bisa lagi menikmati telur goreng ceplok mata sapi, dan hangatnya paha ayam (kampung) bakar. Puasanya ayam dan ulat, adalah dalam rangka mentraktir lingkungannya, tentu saja termasuk kita. Tidakkah kita ingin mengikuti jejak kedua hamba Allah itu?!

Tak terasa kita telah memasuki bulan Ramadhan. Ada banyak harapan yang telah kita bangun sejak saat ini. Harapan untuk lebih dekat dan merasakan nikmat berinteraksi dengan yang Maha Berkehendak, harapan mendapat kasih sayang—Nya. Selama berpuasa kita berdo’a tidak hanya do’a untuk meminta rezeki, kenikmatan materi, fasilitas ataupun kenyamanan, tetapi do’a untuk meminta ridho, ampunan, dan jannah (surga). Sehingga setelah Ramadhan, memasuki 1 Syawal nanti, jasmani dan ruhani kita dalam keadaan fitrah, mendapat kekuatan baru untuk berkarya lebih baik.

Di luar Ramadhan sepanjang waktu kita berkomunikasi dengan benda-benda, menghadirkan hasrat fisik dan emosi dari ujung kaki hingga ujung rambut. Dipenuhi dengan ilmu pengetahuan dan akal. Maka di bulan Ramadhan kita beribadah, bagian dari upaya menjalin komunikasi dengan rabbul ‘alamin, tempat dan semua asal dari segala klausal. Menghadirkan sifat-sifat Allah yang menghidupi, mencintai, mencipta dan penyabar.

Dengan berpuasa, pada saat berbuka kita menemukan betapa nilai fasilitas Allah sangat bernilai tinggi. Seteguk air putih bisa menghilangkan kedahagaan dan rasa lapar seharian. Dari sini timbul pemahaman dengan sempurna apa arti materi. Karena pada saat kita berfoya-foya justru menghilangkan nikmat dan kehilangan nilai. Produk orang berpuasa adalah manusia otentik, sanggup berucap sesuai dengan kenyataan, konsisten mengambil jarak dengan diri. Sanggup dan peduli melayani semesta alam. Timbulnya daya cipta terhadap kehidupan.

Saat berpuasa adalah saat berdialog dengan kenikmatan, berupa sikap untuk menunda. Nanti, nanti, nanti, demikian kata orang yang berpuasa ketika kenikmatan menghampiri. Berpuasa adalah kesanggupan untuk menunda kenikmatan. Puasa melatih kita untuk jujur, bersabar dengan kenikmatan meski terang-terang itu sudah menjadi hak kita. Puasa membuat kita berlaku konsekuen, toleran sabar dan malu. Dalam berpuasa di bulan Ramadhan kita diingat pada awal komunitas sosial kita, sebagai manusia yang tidak hanya berdimensi jasmani tapi ruhani, sudah terlalu banyak ketidakselarasan kita lakukan, kepada lingkungan, pada semesta terlebih kepada Tuhan.

Beribadah saat Ramadhan, adalah saat kita menjadi kepompong, dalam rangka menuju kupu-kupu.
Back To Top