.

Ayahku Tegar

Rahima

Gejolak perasaanku begitu trenyuh, tatkala kulihat ayahku berbaring, tertidur pulas dicelah-celah bantal guling kepunyaan ibuku. Kupandangi wajahnya yang begitu sayu dan letih, bekas guratan-guratan kepenatan dan kelelahan kerja disiang hari.

Ayahku seorang pegawai biasa yang bergaji normal-normal saja. Karir demi karir dijalaninya, pergi pagi, pulang sore, bahkan sampai malam tanpa mengenal lelah.

Ayahku yang hanya tamatan SMEA itu, meniti hidup penuh dengan ketabahan, kesabaran dan keuletan.

Tak jarang kulihat rambutnya kusut, keningnya berkeringat penuh dengan butiran-butiran dari bongkahan air, matanya sayu, wajahnya kering bagai bebatuan yang terkena sengit mentari, sepulang mencari nafkah demi sesuap nasi, mengisi minyak kompor agar dapur kami berasap.

Sering kutanya : " Ayah..kenapa ayah sering terlambat pulang dari kerja? ".
Ayahku menjawab : " Nak,.ayah banyak pekerjaan, kalau ayah tak kerja, bagaimana kita makan, bagaimana Shinta sekolah, bagaimana adik-adik dan kakak-kakak berpakaian sebagaimana teman-teman kalian berpakaian, bagaimana adikmu yang kecil bisa bermain dengan mainannya. Semua itu pakai duit, tak ada yang gratis sekarang, air saja bayar, rumah saja bayar pajak, masih untung nak, bernafas masih gratis, coba kalau bernafas saja harus bayar lagi ?".

Pagi-pagi sekali, ayahku sudah bangun, sementara kami masih terlelap dalam mimpi-mimpi dan bunga-bunganya tidur, dipulau kasur yang tak bertepi, tak berbatas, selain hanya menambah kenyeyakan mata saja.

Dan tak jarang ayahku membanguni kami agar segera bangkit dari pulau empuk itu, mandi, berwudhuk dan shalat, juga menyuruh kami membersihkan kasur, tak jarang juga beliau melipat selimut-selimut kami, karena selimut kami begitu tebalnya sehingga tak kuat kami mengangkatnya, hanya tangan ayah yang kuat dan tegar saja yang mampu melipat semua itu dengan begitu rapinya.

Ayahku sering menjadi imam diantara kami, mengajari kami tulis baca AlQuran, mendidik kami menjadi anak-anak yang berakhlak baik, hidup dalam kemuliaan, bersikap baik sesama manusia dan binatang, juga ciptaan Allah lainnya, walaupun ayahku bukanlah tamatan sekolah tinggi di Al Azhar Mesir sana, namun ia bisa dengan fasih membaca AlQuran.

Kalau ayahku sedang sakit, biasanya ia sangat manja dengan ibuku yang dengan sabar melayani ayah terbaring dikasur, menyediakan teh hangat, soup sayuran, walau ngak pakai daging, atau ayam, maklumlah hidup seorang pegawai biasa, sangat sulit untuk membeli daging dan ayam yang mahal-mahal.

Makanan kami seringnya tempe, tahu, ikan asin, ikan teri kecil-kecil saja, namun tetap juga kami sehat, karena ayah selalu melarang kami untuk makan yang siap jadi(instant), atau makan dijalanan, karena ayahku bilang kurang terjamin kesegaran dan khasiatnya.

Ayahku memang jarang, bahkan tidak suka makan diluar, direstoran, kedai-kedai, sukanya makan dirumah, masakan ibuku yang sederhana, tetapi segar. Kata ayah masakan ibu jauh lebih nikmat dibandingkan makanan direstoran Padang itu. Ayahku memang pemuji ulung lagi menghargai hasil kerja ibuku.

Sebelum ayahku bekerja dikantoran, ia dulunya pernah bekerja sebagai tukang angkat batu bangunan. Sungguh menyedihkan, terkadang kaki ayah sampai luka-luka, tangannya kasar akibat berteman dengan pekerjaan kasar semacam itu. Badannya sedikit bungkuk akibat membawa beban berat bebatuan dipunggung dan pundaknya.

Ada tawaran untuk berbisnis kain,.dan baju-bajuan. Maka sempat jugalah ayahku menjadi pedagang kaki lima di pinggiran jalan itu.

Sambil menjajakan dangangannya beliau berkata : "harga murah..harga murah…siapa mau beli,.akan beruntung..kain bagus,..baju bagus,.buatan Indonesia,.kainnya lembut, tenunannya halus ,.hanya Rp 10.000 perlembar kain ".

Duh,..datang sipenglihat-lihat dari para ibu-ibu yang rajin menawar dipasar,.sudah bongkar sana-sini,..tanya harga keliling jembatan,.tawar menawar,.ngak juga beli,.". Tinggallah ayahku menyusun kembali dan melipat kain yang sudah digebrak gebruk oleh ibu tadi.

Namun ia tetap tabah dan sabar,.sambil berkata terus tanpa kenal lelah, dimana simpanan suaranya sudah mulai serak-serak kering.

Terkadang beliau pulang dengan tangan hampa, terkadang membawa hasil yang lumayan. Begitulah hari demi hari dilalui ayah, sampai datanglah tawaran untuk menjadi pegawai biasa.

Karir ayahku dimulai dari kuli mengkopy-kopy , kemudian menanjak menjadi pegawai tetap yang lumayan berkedudukan, sampai akhirnya ayahku memegang jabatan kepala bagian disuatu instansi.

Namun begitupun ayahku tak pernah sombong, tak mau korupsi.
Kata ayahku : " Tak boleh setetes darah yang mengalir ditubuh anak-anak ayah akibat hasil yang subhat dan haram, tak akan berkah hidup dan ilmu anak-anak ayah yang tumbuh dan berkembang dari hasil yang haram, biarlah kita hidup sederhana, makan apa adanya, asalkan kelak diakhirat sana kita bebas dari tanggung jawab, pertanyaan : Darimana, kemana dikemanakan harta itu kau dapat dan pergunakan", itulah yang selalu disampaikan ayahku pada kami anak-anaknya.

Kini ayah sudah tua sekali, kulihat keriput diwajahnya, namun masih tetap nampak bersih dan bersinar. Beliau masih rajin shalat dan kemesjid, membaca AlQuran, walau matanya sudah mulai kabur, giginya sudah mulai gugur, rambutnya sudah beruban dan banyak yang rontok, ayahku tetaplah ayahku yang dulu masih giat bekerja, rajin beribadah, mendidik kami anak-anaknya yang sudah dewasa dan berumah tangga, menjaga cucu-cucunya yang terkadang lebih dari kami memanjakan anak-anak kami.

Ayahku seorang lelaki yang tegar, sebagaimana ibuku seorang ibu yang tangguh !.
Back To Top