.

Semangkuk Bakso Penghangat Hati

Bayu Gawtama

Setiap Sabtu dan Minggu adalah "Hari Ayah", maksudnya karena saya libur ke kantor maka dua hari itu akan dikhususkan untuk mengajak anak-anak bermain penuh seharian. Tidak hanya itu, sebagian pekerjaan rumah yang nyaris tidak pernah sempat saya sentuh di hari-hari kerja, seperti menyapu dan mengepel lantai, membersihkan kaca, juga halaman depan, di sabtu dan minggu itulah menjadi ajang saya beraksi sebagai Ayah yang bisa diandalkan.

Tapi tidak dengan akhir pekan lalu, saya harus pergi setelah subuh meninggalkan anak-anak yang masih terlelap, meninggalkan pekerjaan rumah yang menunggu. Padahal biasanya saya masih sempat untuk bersih-bersih, kalau pun tidak paling-paling seulas senyum penawar maaf terhaturkan kepada isteri tercinta. Saya pun pergi dengan langkah seringan awan.

Selepas zuhur saya menelepon ke rumah untuk memastikan keluarga baik-baik saja, sekaligus meminta maaf ke isteri untuk pekerjaan yang tertinggal. "Anak-anak baik-baik saja tuh, kerjaan rumah selesai semua, pokoknya pulang tinggal tidur deh..." kalimat yang terlontar dari isteri saya sepintas biasa saja. Tapi tidak dengan pendengaran saya, saya merasa ada getar ketidakrelaan saya pergi hari itu.

Biasanya isteri saya selalu mendukung aktivitas sosial yang saya ikuti, anak-anak pun bisa mengerti, bahwa aktivitas Ayah mereka bukan semata untuk mencari uang di hari biasa. Hari libur yang seharusnya untuk mereka pun kadang terpakai untuk kegiatan sosial. Tapi mendengar kata "tuh" dan "pokoknya pulang tinggal tidur deh" terasa mengagetkan, karena kalimat itu terdengar keluar dari hati yang tak ikhlas.

Saya tersadar. Menjadi suami kadang terlalu egois mementingkan urusannya sendiri, di saat yang sama terlupa memperhatikan kebutuhan dan kondisi isteri. Sejak senin hingga Jumat ia seharian di rumah dengan segunung pekerjaan rumah yang bahkan sampai malam pun tak habis-habisnya, berharap sabtu dan minggu ada yang membantunya meringankan beban pekerjaan. Tetapi yang diharapkan malah pergi untuk urusan orang lain dan meninggalkan kewajiban utamanya. Sejatinya, masalah saya hanyalah kurang memperhatikan kondisi hati isteri, mungkin saja hari itu ia benar-benar tengah banyak mengandalkan saya untuk di rumah. Kenyataannya, saya pun pergi.

Langkah saya yang seringan awan saat berangkat pagi tadi, sorenya seperti tersangkut bandul sebesar gunung yang menjerat kaki. Sungguh berat hati ini untuk menghadapkan wajah di depannya. Saya bisa membayangkan wajah cantiknya berubah kusut disebabkan ulah anak-anak dan juga setumpuk pekerjaan yang saya tinggalkan. Saya terus berpikir sepanjang jalan, dan dada ini semakin bergemuruh ketika jarak ke rumah tinggal lima belas menit lagi. Sampai ketika saya melihat sebuah warung bakso favoritnya, terbetiklah ide untuk membeli dan membawa pulang sebungkus untuknya.

Sampai di rumah, isteri saya sedang menyapu lantai. "Biarkan abang yang nyapu neng..." dan bungkus bakso pun saya berikan kepadanya. Sebaris janji tercipta, "Besok, kamu boleh tidur seharian deh say..."

***

Minggu pagi, ada telepon yang meminta saya untuk hadir sebagai pembicara, dan..., "Maaf, saya ada acara sama isteri dan anak-anak saya hari ini", jawab saya untuk penelepon di seberang sana. Aih, isteri saya pun tersenyum.
Back To Top