.

Meskipun Aku tak Mengenalmu

Oleh: Prie GS

Sudah tak terhitung aku lewat di jalan itu. Tak terhitung, karena aku memang tak perlu menghitung. Tak perlu kuhitung karena cuma itulah jalanku, karena di situlah memang jalan menuju rumahku. Dan jika aku hendak pulang, cuma jalan itulah yang bisa membawaku. Maka ke manapun aku hendak pergi, dari manakah aku ingin pulang, cuma jalan itulah jalanku.

Tapi meskipun jalanku cuma itu melulu, tak semua yang tinggal di jalan itu mengenalku. Tapi meksipun tidak saling kenal, kami pasti saling tahu, karena begitu seringnya kami ketemu. Mereka tau patsi bentukku, bentuk kendaraanku. Aku jadi tahu persis, ada sebuah keluarga, yang pada jam-jam tertentu baru berangkat kerja. Mobilnya bahkan sering harus maju mundur sedemikian lama, karena sempitlah halamannya, seperti halamanku. Aku tahu persis, ada jenis keluarga yang jika sore menjelang, gemar bersantai di depan rumah, sambil menyita jalan gang.

Aku tahu persis di rumah yang lain lagi, tentang anak-anaknya yang banyak dan gaduh. Anak-anak seperti tak kenal masa lelah. Pulang sekolah sudah kedapatan naik sepeda dan kebut-kebutan tanpa kenal bahaya. Di rumah yang lain lagi, ada keluarga yang memakai separo jalan utuk berjualan. Ramai sekali. Di sisi yang lain, ketika malam menjelang, sekumpulan bapak-napak rajin berkumpul dan berbincang sambil memajang bangku panjang di tepi jalan.

Entah pagi, siang dan malam hari, aku hampir mengenal irama jalan itu, karena setiap kali aku memang cuma bisa lewat jalan itu, jika hendak pulang ke rumahku. Aku tak mengenal orang-orang yang aku ceritakan itu. Aku hanya setiap kali bertemu. Tapi siapapun mereka, betapapun aku tak mengenalnya, aku selalu bertegur sapa. Tidak dengan kata-kata, cukup dengan berhenti dan menunggu ketiak mobil orang itu maju dan mundur begitu lama, karena sempitnya halaman rumahnya. Aku menunggunya, sampai mobil itu menemeukan jalan.

Jika aku melewati jalan yang tersita untuk berjualan itu, aku akan memelankan kendaraan. Tak kubutuhkan klakson meskipun para pembeli berkerumun, parkir sembarangan dan memapatkan jalan. Aku cukup berhenti dan menunggu, sampai sorang-orang itu menyingkirkan sendiri kendaraannya yang diparkir serampangan. Jika aku lewat di depan rumah anak-anak yang gaduh itu aku siap menginjak rema kapan saja, tanpa menunggu mereka ada atau tak ada, tengah bersepeda atau tengah perang-perangan di jalanan. Tak peduli apapun perbuatan mereka, aku cukup bersiaga.

Maka ketika anak itu benar-benar ngebut dan hampir saja menabrakku, ibu anak itu sendirilah yang tergopoh-gopoh, menjewer telinganya dan meminta maaf kepadaku. Jika malam menjelang dan kerumunan bapak-bapak yang ngobrol itu menghadangku, aku buru-buru mematikan lampu. Menyalakan lagi ketika kerumunan itu telah kulewati. Begitu selalu sikapku setiap melewati jalan itu. Bertahun-tahun kulakukan kebiasaan itu karena memang cuma di situ jalanku, di situ rumahku.

Kebiasan ini bukan karena aku adalah manusia baik hati, melainkan karena tuntutan kewajaran belaka: jika ada orang lain buru-buru, mengalahlah. Jika jalanan sesak, bersabarlah, jika pihak lain sedang ngebut, pelanlah, jika lampumu bikin silau, matikanlah. Rumus ini jelas serupa dengan jika engkau haus minumlah, jika engkau lapar tidurlah, jika engkau sakt, mengaduhlah. Jadi tidak dibutuhkan orang-orang baik hati untuk bisa melakukan kebiasaan ini.

Jadi, selama ini aku cuma menjalankan ewajaran. Tapi cuma karena kewajaran ini pun hasilnya amat mengagetkan, karena orang-orang di sekujur jalan itu, hampir semuanya bersikap ramah kepadaku, tanpa mereka harus mengenalku. Baru bertingkah wajar saja sudah begini banyak temanku, apalagi jika aku adalah orang yang dermawan.
Back To Top