.

Berbicaralah Kepadaku, Kakek.


Beberapa minggu setelah ayahku terkena stroke, kami mencegah anak kami --yang merupakan cucunya satu-satunya, Desiree -- untuk menengoknya. Desiree baru berumur tiga tahun saat itu. Namun ternyata ini sulit dilakukan, karena Desiree dan kakeknya mempunyai hubungan yang sangat istimewa. Desiree rindu untuk berjumpa dengan kakeknya, dia rindu tertawa dan menari-nari bersama kakeknya, dia rindu untuk saling berbicara dengan gaya bicara yang hanya dikuasai oleh kakek dan cucunya.

Ayah melalui minggu-minggunya dengan rehabilitasi yang intensif. Kemajuannya sangat lambat ketika beliau harus belajar lagi kemampuannya sehari-hari. Beliau sangat ingin bisa berbicara kembali. Para ahli terapi bekerja bersamanya setiap hari, dan setelah beberapa minggu beliau akhirnya dapat mengucapkan kata pertamanya, "Hai... !". Kami sangat senang melihat tanda penuh harapan ini, dan memutuskan untuk membawa Desiree menengoknya sekarang. Ibunya telah menyiapkannya untuk pertemuan itu. "Kakek tak bisa berjalan," dia menjelaskannya , "Kakek harus menggunakan kursi roda." Namun yang lebih sulit lagi ternyata adalah menjelaskan bahwa kakeknya tak bisa berbicara lagi.

Hari itupun tiba. Kami mendorong kursi roda ayah agar kami dapat berkumpul di tempat yang nyaman. Desiree pun mendekatinya seperti seseorang yang sedang berusaha menangkap kupu-kupu yang hinggap di semak-semak. Dengan suka cita, hati-hati dia melangkah mendekati Kakek dan memeluknya dengan lembut, sambil mengitari bagian-bagian kursi roda tersebut. Ayah berusaha keras membungkuk mendekati Desiree, dan dengan lemah mengucapkan satu-satunya perkataan yang dimilikinya, "Hai... !" . Kami semua menghela nafas lega melihat semuanya berjalan dengan lancar.

Keingintahuan Desiree yang sungguh alami, polos, menuntunnya memperhatikan sikap kakeknya dan kami. Kami semua berusaha bersikap "normal" demi mereka berdua, walaupun secara menyakitkan kami menyadari bahwa hidup tak akan pernah kembali "normal". Kemudian terjadilah sesuatu hal : sebuah pertanyaan manis dan lugu harus ditanyakan.

Desiree kecil berjinjit kepada kakeknya dan bertanya dengan lembut, "Maukah kakek berbicara kepadaku ?" . Dia hanya menginginkan kebersamaan yang mereka miliki dahulu. Kami juga menginginkan kebersamaan itu yang pernah kami miliki. Namun, ternyata hanya si kecil Desiree saja yang mempunyai keberanian untuk menanyakan hal itu.

Kami pun cepat-cepat mengubah topik pembicaraan, khawatir merisaukan perasaan kakek dan tak akan tahu bagaimana caranya menerangkan situasi ini kepada Desiree.

Setelah berbulan-bulan direhabilitasi, akhirnya ayahpun bisa pulang. Walaupun dia hanya bisa menggerakkan bagian kanan tubuhnya sedikit, dan hanya berbicara sedikit. Ayah terlihat berusaha mencari kata-kata, dan sekali lagi... sang kakek dan cucunya yang saat ini telah berusia lima tahun dapat saling berbicara dan melakukan percakapan yang sangat unik dan istimewa.

Jika diingat, keluguan, kepolosan Desiree kecil mengajarkan kepada kita :
Betapa pentingnya mencari jawaban secara JUJUR untuk segala tragedi kehidupan.
Mengapa kita tak menanyakan pertanyaan yang "membara" itu ?
Hanya karena alasan untuk menyembunyikan rasa takut kita dalam bersikap "yang pantas", mengapakah kita tak mencoba membicarakan kesedihan yang akan dimunculkan akibat pertanyaan kita ?

Jika orang dewasa mencoba menghadapi dan mengatasi kesulitan ini dengan cara seperti anak-anak yang 'rapuh', tentulah kita akan dapat mengatasi kesedihan itu jauh lebih cepat. Semoga keluguan, kepolosan anak-anak dapat tetap menjadi Guru kita.


(dikutip dari : " Belajar dari 'Kearifan' Anak-anak " : Kaifa)
Back To Top