.

Aib pun Butuh Dibagi

Oleh Prie GS

Belum lama ini saya lewat di sebuah toko buah yang sedang sepi pembeli. Kesepian itulah yang membuat penjualnya, seorang ibu muda, tampak punya waktu untuk membenahi kerapian dagangannya. Beberapa jenis buah dalam kantung plastik tampak sedang siap-siap digantung. Penggantungan inilah yang memancing masalah. Letak cantolan itu agaknya terlalu tinggi untuk ukuran tubuhnya, tapi terlalu rendah untuk dibantu tangga atau penyangga.

Maka jadilah ia memakai media yang menurutnya paling praktis: berjinjit saja. Usaha yang dianggap praktis ini ternyata malah tidak praktis. Karena kantung buahnya cuma bisa sampai pada mulut pengait, tapi untuk benar-benar terkait bukanlah persoalan mudah.

Padahal jinjit adalah gerakan darurat, apalagi ditambah dengan usaha mengaitkan buah yang tidak mudah ini. Artinya ia tidak boleh terjadi berkali-kali karena ancaman kelelahannya yang tinggi. Dan si ibu ini, ketika sudah lebih dari tiga kali usahanya melulu gagal, tampak mulai menyadari risikonya. Ia mulai menoleh kanan-kiri, dan saya yakin bukan untuk mencari pertolongan, tapi lebih pada mendektesi, apakah usahanya tadi aman dan tidak menjadi bahan tertawaan. Ketika ia yakin keadaan terkendali, usaha itu dicobanya lagi, dan ... gagal lagi.

Setiap kegagalan ia tebus dengan menoleh kanan-kiri untuk terus mengecek, apakah adegan konyolnya ini telah diketahui orang. Sesekali, ia menebus kegagalannya itu dengan tersenyum, menentramkan diri sendiri. Puncaknya adalah ketika kesabarannya telah habis.

Dari berjinjit, ia nekat berjingkat untuk meraih ketinggian yang lebih memadai. Akibatnya sungguh tak pernah ia duga. Gantungan buah itu memang nyantol ke kawat pengait. Tapi yang lupa ia perhitungkan ialah ketika tubuhnya melayang turun tangan itu masih memegang kantung buahnya, dan musibah itupun datanglah. Buah itu, tepatnya apel, berhamburan ke mana-mana.

Ibu ini mencoba mengatasi musibahnya dengan tertawa. Tapi kita tahu, tawa itu pasti tidak mewakili suasana hatinya. Tawa ini pasti sekadar upaya untuk berdamai pada suasana yang menekannya. Kita tidak tahu persis perasaan ibu ini. Ia bisa jengkel, marah, dan malu. Persoalnya bukan pada jenis perasaan apa yang sedang ia alami, tapi terletak bahwa ia sedang sendiri. Jadi apapan perasaan dia saat itu, entah jengkel, kesal dan malu, tidak ada tempat untuk berbagi. Maka tawa yang pahit itulah jalan tengahnya. Tawa ini pun sebuah langkah yang penuh risiko, karena ia cuma bisa tertawa pada buah dagangannya dan maksimal pada dirinya sendiri.

Semua jenis perasaan ternyata butuh teman untuk berbagi. Kita tidak bisa marah sendirian, terharu sendirian dan bahkan untuk malu pun kita tidak bisa sendirian. Sekali waktu, dalam hidup kita pasti pernah mengalami jenis kesialan yag tidak bermutu ini. Kesialan itu bukan hal serius, tidak juga mengancam hilangnya nyawa. Tapi ia tetap menjadi derita jika kita sendiri. Terpeleset, menabrak pintu kaca, salah masuk ruangan... adalah hal-hal yang berat ketika sendiri tapi menjadi lelucon saja ketika kita bersama-sama.

Begini hebat kebutuhan manusia untuk berbagi itu. Dan jika rasa malu saja butuh dibagi, apalagi rezeki.
Back To Top